KOLITIS INFEKSI


 

Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan penyebab dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  1. Kolitis infeksi, misalnya: shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik, kolitis pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit lain.
  2. Kolitis non-infeksi, misalnya: kolitis ulseratif, penyakit Crohn's, kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik (simple colitis).

Pembahasan ini difokuskan pada kolitis infeksi yang sering ditemukan di Indonesia sebagai daerah tropik, yaitu kolitis amebik, Shigellosis, dan kolitis tuberkulosa. Di samping itu dibahas pula kolitis pseudomembran yang timbulnya terkait dengan pemakaian antibiotik, dan infeksi E. coli patogen.

KOLITIS AMEBIK (AMIEBIASIS KOLON)    

Batasan. Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica.

Epidemiologi. Prevalensi amebiasis di berbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10% populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia merupakan host sekaligus reservoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang padat dan ,kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya.

Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan kista pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia. Sedangkan pada pasien dengan infeksi amuba kut/kronik yang invasif selain kista juga mengeluarkan trofozoit, namun bentuk trofozoit tersebut tidak dapat bertahan lama di luar tubuh manusia.

Patofisiologi. E. Histolytica terdapat dalam dua bentuk yaitu: kista dan trofozoit yang bergerak. Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan suasana asam. Di dalam lumen usus halus, dinding kista pecah mengeluarkan trofozoit yang akan menjadi dewasa dalam lumen kolon. Akibat klinis yang ditimbulkan bervariasi, sebagian besar asimtomatik atau menimbulkan sakit yang sifatnya ringan
sampai berat.

Berdasar pola isoenzimnya, E. Histolytica dibagi menjadi golongan zymodeme patogenik dan zymodeme nonpatogenik. Walaupun mekanismenya belum seluruhnya jelas, diperkirakan trofozoit menginvasi dinding usus dengan cara mengeluarkan enzim proteolitik. Pasien dalam keadaan imunosupresi seperti pemakai steroid memudahkan invasi parasit ini. Penglepasan bahan toksik menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi mukosa. Bila proses berlanjut. timbul ulkus yang bentuknya seperti botol underzninecl, kedalaman ukus mencapai submukosa atau lapisan muskularis. Tepi ulkus menebal dengan sedikit reaksi radang. Mukosa di antara ulkus terlihat normal. Ulkus dapat terjadi di semua bagian kolon, tersering di sekum, kemudian kolon asenden dan sigmoid, kadan-kadang apendiks dan ileum terminalis.

Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas amoral dan imunitas cell-mediated amebisidal berupa makrofag amphokine-activated serta limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk massa yang disebut ameboma. Sering terjadi di sekum atau kolon asenden.

Gejala Klinis. Gejala klinis pasien amebiasis sangat bervariasi. mulai dan asimtomatik sampai berat dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Beberapa jenis keadaan klinis pasien amebiasis adalah sebagai berikut :

1.    Carrier (cyst passer) : ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus, tanpa gejala atau hanya keluhan ringan seperti kembung. flatulensi, obstipasi, kadang-kadang diare. Sembilan puluh persen pasien sembuh sendiri dalam waktu satu tahun, sisanya (1090) berkembang menjadi kolitis ameba.

2.    Disentri ameba ringan : kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare ringan dengan tinja berbau busuk serta tercampur darah dan lendir, keadaan umum pasien baik.

3.    Disentri ameba sedang: kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali dengan nyeri spontan.

4.    Disentri ameba berat : diare disertai banyak darah, demam mual, anemia.

5.    Disentri ameba kronik: gejala menyerupai disentri ameba ringan, diselingi dengan periode normal tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, neurastenia, serangan diare biasanya timbul karena kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna.

Diagnosis. Pada pasien yang dicurigai mengidap amebiasis kolon, pertama kali diperiksa adanya eritrosit dalam tinja. bila positif, pemeriksaan dilanjutkan (lihat alogritma diagnosis). Pemeriksaan tinja segar yang diberi larutan garam fisiologis, dilakukan minimal pada 3 spesimen tinja yang terpisah, untuk mencari adanya bentuk trofozoit. Untuk identifikasi kista dilakukan pemeriksaan tinja dengan pengobatan trichrome, bila perlu dengan teknik konsentrasi tinja.

Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap ameba, positif pada 85-95% pasien dengan infeksi ameba yang invasif.

Pemeriksaan endoskopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis pada pasien amebiasis akut. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dini sebelum dilakukan terapi. Ulkus yang terjadi bentuk khas, berupa ulkus kecil, berbatas jelas, dengan dasar yang melebar (undermined), dan dilapisi dengan eksudat putih kekuningan. Mukosa di sekitar ulkus biasanya normal. Bentuk trofozoit biasanya dapat ditemukan pada dasar ulkus dengan cara mengerok atau aspirasi kemudian diperiksa dengan mikroskop selelah diberi larutan garam fislologis.

Pemeriksaan radiologi tidak banyak membantu, karena gambarannya sangat bervariasi dan tidak spesifik. Bila terbentuk ameboma tampak sebagai filling defect.

Diagnosis banding. Kolitis amebik sangat perlu dibedakan dan kolitis ulserosa atau kolitis Crohn karena pemberian kortikosteroid pada kollitis amebik menyebabkan penyebaran organisme dengan cepat dan dapat menimbulkan kematian pasien.

Diagnosis banding yang lain adalah kolitis karena infeksi Shigela, Salmonela, Campylo bacter, Yersinia, E. coli patogen, dan kolitis pseudomembran.

Komplikasi

1. Intestinal. Berupa perdarahan kolon. perforasi, peritonitis, ameboma, intususepsi, dan striktur.

2. Ekstraintestinal. Dapat terjadi abses hati, amebiasis kulit, amebiasis pleuropulmonal, abses otak, limpa, atau organ lain.

Penatalaksanaan

1. Karier asimtomatik. Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents) antara lain: lodoquinol (diiodohidroxyquin) 650 mg tiga kali perhari selama 20 hari atau Paromomycine 500 mg 3 kali sehari selama 10 hari

2. Kolitis ameba akut. Metronidazol 750 mg, tiga kali sehari selama 5 -10 hari, ditambah dengan obat luminal tersebut di atas.

3. Amebiasis ekstraintestinal (misalnya: abses hati ameba). Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5 -10 hari ditambah dengan obat luminal tersebut di atas. Penggunaan 2 macam atau lebih amebisidal ekstra intestinal tidak terbukti lebih efektif dari satu macam obat.

Beberapa obat yang juga dapat digunakan untuk amebiasis ekstra intestinal antara lain: 1). Kloroquin fosfat 1 gram perhari selama 2 hari dilanjutkan 500 mg/hari selama 19 hari. 2). Emetin 1 mg/k, BB/ hari IM (maksimal 60 mg) selama 10 hari. Emetin merupakan obat yang efektif untuk membunuh trofozoit di jaringan atau yang berada di dinding uses, tetapi tidak bermanfaat untuk ameba yang berada di lumen usus. Beberapa dasawarsa yang lalu emetin sangat populer namun saat ini telah ditinggalkan karena efek toksiknya. yaitu dapat menimbulkan mual muntah, diare, kram perut. nyeri otot_ takikardia, hipotensi, nyeri prekardial, dan kelainan EKG berupa Inversi getombang T dan interval QT memanjang. sedangkan aritmia dan QRS yang, melebar jarang ditemukan. Disarankan pasien yang mendapatkan obat ini dalam keadaan tirah baring dengan pemantuan EKG. Hindari penggunaan emetin bila terdapat kelainan ginjal. Jantung, otot, sedang hamil atau pada anak-anak, kecuali bila obat yang lain gagal.


 

DISENTRI BASILER (SHIGELLOSIS)

Batasan. Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri genus Shigella.

Epidemiologi. Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat, sanitasi jelek, kurang, air, dan tingkat kebersihan perorangan yang rendah. Di daerah endemik infeksi Shigella merupakan 10-I5% penyebab diare pada anak. Sumber kuman Shigella yang alamiah adalah manusia walaupun kera dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit relatif sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah terjadi penularan secara fecal-oral, baik secara kontak langsung ataupun akibat makanan dan minuman yang terkontaminasi.

Di daerah tropik termasuk Indonesia, disentri biasanya meningkat pada musim kemarau di mana S.flexnerii merupakan penyebab infeksi. terbanyak. sedangkan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat prevalensinya meningkat di musim dingin. Prevalensi infeksi oleh S.flexnerii di negara tersebut telah menurun sehingga saat ini S. sonnei adalah yang terbanyak.

Mikrobiologi. Shigella termasuk kelompok enterobacteriuceae, yang bersifat gram negatif. anaerob fakultatif dan sangat mirip dengan Escherichia Coli. Berapa sifat yang membedakan kuman ini dengan E. coli adalah kuman ini tidak bergerak aktif, tidak memproduksi gas dalam media glukosa dan pada umumnya laktosa negatif..

Dikenal 4 spesies Shigella dengan berbagai serotipenya yaitu: S. dysenteriae (12 serotipe), S. flexnerii (14 scrotipe). S. boydii (15 serotipe) dan S. sonnei (1 serotipe). Keempat spesies Shigella itu secara berurutan disebut sebagai golongan A. B. C. dan D.

Gejala klinis terberat terjadi pada infeksi S. dysenteriae, kuman ini juga sering menyebabkan wabah di negara sedang berkembang. Sedangkan gejala klinis yang teringan adalah akibat infeksi S. sonnei.

Patofisiologi. Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri yaitu suatu keadaan yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak (tidak cair). disertai eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorphonuclear (PMN) dan darah.

Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum terminalis dapat juga terserang. Pada kasus yang sangat berat dan mematikan kuman dapat ditemukan juga pada lambung serta usus halus.

Selelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi cel epitel mukosa kolon dan berkembang biak di dalamnya. Perluasan invasi kuman ke sel disekitarnya melalui mekanisme cell to cell transfer. Walaupun lesi awal terjadi di lapisan epitel respons inflamasi lokal yang menyertai cukup berat, melibatkan leukosit PMN dan makrofag. Hal tersebut menyebabkan edema, mikroabses. hilangnya sel goblet. kerusakan aisitektur jaringan dan ulserasi mukosa. Bila penyakit berlanjut, terjadi penumpukan sel inflamasi pada lamina propria, dengan abses pada kripta merupakan gambaran yang utama.

S. dysenteriae, S. flexneri dan S. sonnei menghasilkan eksotoksin antara lain ShETI. ShET2. toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik, an neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel epitel mukosa kolon dan memperberat gejala klinis.

Kuman Singella jarang melakukan penetrasi ke jaringan di bawah mukosa sehingga jarang menyebabkan bakteriemia. Walaupun demikian pada keadaan malnutrisi dan pasien imununo-compromized dapat terjadi bakteriemia. Selain itu dapat pula terjadi kolitis hemoragik dan sindrom hemolitik uremik (SHU). SHU diduga akibat adanya penyerapan enterotoksin yang diproduksi oleh kuman Shigella. Infeksi Shigella menimbulkan imunitas humoral yang protektif untuk spesies yang sama.


 

Gejala klinis. Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis Shigeleosis bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa. namun dapat berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan berlangsung lama gejalanya menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, rasa panas rectal, diare disertai demam yang bisa mencapai 40°C. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium. nyeri kepala, kaku kuduk dan letargi.

Pengidap pasca-infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu Walaupun jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun Pengidap kronik tersebut biasanya sembuh sendiri, dan dapat mengalami gejala shigellosis yang intermiten.

Diagnosis. Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri abdomen bawah, rasa panas rectal, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis dilakukan kultur dan bahan tinja segar atau hapus rektal. Sigmoidoskopi dapat memastikan diagnosis adanya kolitis, namun pemeriksaan tersebut pada umumnya tidak diperlukan, karena menyebabkan pasien merasa sangat tidak nyaman. Indikasi untuk melakukan sigmoidoskopi adalah bila segera diperlukan kepastian diagnosis apakah gejala yang terjadi merupakan disentri atau manifestasi akut kolitis ulserosa idiopatik. Dalam keadaan tersebut, biopsi harus dikerjakan dalam waktu 4 hari dari saat gejala. Pada fase akut infeksi Shigella, tes serologi tidak bermanfaat.

Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan kolitis ulseratif. Demikian pula pemeriksaan barium enema, sigmoidoskopi, dan histopatologi juga tidak dapat membedakannya. Perbedaan utama adalah kultur Shigella yang positif dan perbaikan klinis yang bermakna setelah pengobatan dengan antibiotik yang adekuat.

Diagnosis banding

  • Salmonelosis
  • Sindrom diare karena enterotoksin E. colli
  • Kolera
  • Kolitis ulserosa

Komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi intestinal dan ekstraintestinal. Komplikasi intestinal biasanya berupa megakolon toksik, perforasi intestinal, dehidrasi renjatan hipovolemik dan malnutrisi. Sedangkan komplikasi ekstraintestinal yang telah dilaporkan cukup banyak, di antaranya adalah batuk, pilek, pneumonia, meningismus, kejang, neuropati perifer, sindrom hemolitik uremik, trombositopenia, reaksi leukemoid, dan artritis (sindrom Reiter).

Penatalaksanaan

1. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar pasien disentri dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan diare berat, disertai dehidrasi dan pasien yang muntah berlebihan sehingga tidak dapat dilakukan rehidrasi oral harus dilakukan rehidrasi intravena.

2. Antibiotik. Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan beratnya penyakit yaitu pasien dengan gejala disentri sedang sampai berat, diare persisten serta perlu diperhatikan poly sensitivitas kuman didaerah tersebut. Beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan adalah:

  • ampisilin 4 kali 500 mg per hari, atau
  • kotrimoksazol 2 kali 2 tablet per hari, atau
  • tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari.

Dilaporkan bahwa pada daerah tertentu di Indonesia kuman Shigella telah banyak yang resisten dengan antibiotika tersebut di atas sehingga diperlukan antibiotika lain seperti golongan kuinolon dan sefalosporin generasi III terutama pada pasien dengan gejala klinik yang berat.

3. Pengobatan simtomatik. Hindari obat yang dapat menghambat motilitas usus seperti narkotika dan derivatnya, karena dapat mengurangi eliminasi bakteti, dan memprovokasi terjadinya megakolon toksik. Obat simtomatik yang lain diberikan sesuai dengan keadaan pasien antara lain analgetik-antipiretik dan antikonvulsi.

Comments

Popular posts from this blog

MEKANISME PROSES DASAR GINJAL

Sleep and you ( Secrets of sleep )

The Basic Geriatric Respiratory Examination CME/CE