HISTEROSKOPI


Diberitakan pada tahun 1973 bahwa lisis adhesi intrauterine dengan hiteroskopi pertamakali dilakukan menggunakan teknik bedah elektronik yang dipandu dengan endoskopi yang diadaptasi dari ilmu urologi kedalam ilmu kebidanan yang digunakan untuk mereseksi leiomyoma uteri . Divisi Hysteroscopic septum uterus dikembangkan dengan penggunaan teknik di mana gunting dapat terus bergerak melalui bagian luar dari endoscope. Destruksi histeroskopic dari endometrium dilaporkan dilakukan antara lain dengan menggunakan teknik :penguapan laser Yag, reseksi electrosurgical, dan koagulasi electrosurgical.

Penggunaan histerokopi untuk diagnostik dan operatif telah dibatasi oleh berbagai kesulitannya dalam memperoleh gambaran yang konsisten dan bisa diterima ( sebagai hasil distensi yang tidak adekuat, serta pendarahan) dan persepsi bahwa potensi terapeutiknya rendah. Walaupun teknik dan teknologi histeroskopi masih sedang dikembangkan, tetapi mutu penggambaran visualisasi yang sekarang ada adalah sudah sangat baik sebab penggunaan endoscope diameter kecil yang sudah bisa diterapkan karena adanya peningkatan teknologi serat optik. Penggunaannya bersama-sama pencitraan ultrasound dapat memberikan suatu gambaran dinding myometrium selama prosedur resectoskopik.

Karena diagnosa dengan menggunakan histeroskopi dapat dilakukan baik di klinik ataupun tempat praktek tanpa perlu menggunakan anasthesi, penggunaannya secara luas untuk menyelidiki pendarahan uterus yang abnormal telah diizinkan. Yang termasuk kedalam prosedur pembedahan histeroskopi antar lain meliputi pengangkatan polip, eksesi leiomyoma, ablasi endometrial, dan pemisahan adhesi dan septa uteri. Sebagian dari prosedur ini sangat baik bila dilakukan dengan laparoskopi tetapi pada prosedur yang lainnya, walaupun tampaknya menjanjikan, tetapi harus dilakukan penyelidikan klinis yang lebih lanjut. Histeroskopi telah diusulkan sebagai metode untuk menggantikan blind sampling rongga uterus sebab dapat memberikan hasil yang lebih baik dengan biaya yang lebih murah.

Komplikasi atau faktor penyulit

Resiko yang dapat terjadi saat histeroskopi diagnostik antara lain meliputi perforasi uterus, infeksi/peradangan, pendarahan berlebihan, dan kesulitan yang berhubungan dengan media pendistensi. Resiko yang belakangan ini timbul meliputi emboli CO2 dan edema paru-paru yang terjadi karena overinfusi dextran 70 (Hyskon) 32% atau karena cairan dengan viskositas rendah. Histeroskopi diagnostik yang dilakukan di tempat praktek mempunyai tingkat komplikasi yang rendah (0%-1%). Resiko komplikasi pada histeroskopi berkaitan dengan salah satu dari lima aspek saat pelaksanaan prosedur dilakukan, yaitu : ( a) anesthesia, ( b) perforasi, ( c) pendarahan, ( d) penggunaan energi, dan ( e) medium pendistensi.

a. Anastesia

Anastesi lokal dilakukan intracervical atau paracervical dengan suntikan lidocaine 0.5%-2% atau mepivacaine tersolusi, dengan atau tanpa vasoconstriktor lokal seperti adrenaline. Overdosis dicegah dengan memastikan tidak melakukan injeksi intravascular dan dengan mengatur dosis anastesi tidak melebihi dosis maksimum yang direkomendasikan (lidocaine, 4 mg/kg; mepivacaine, 3 mg/kg). Penggunaan suatu vasokonstriktor untuk mengurangi jumlah penyerapan sistemik , dan menggandakan kadar dosis maksimum dapat digunakan.

Yang termasuk komplikasi karena injeksi intravaskuler dan overdosis anasthesia antara lain meliputi alergi, efek neurologis, dan konduksi myocard yang lemah. Alergi ditandai dengan gejala yang khas, seperti agitasi, palpitasi, pruritus, batuk, nafas yang pendek, urticaria, bronchospasme, shock, dan konvulsi. Acuan penanganan meliputi administrasi oksigen, infus cairan isotonik intravena, pemberian adrenalin intramuscular atau subcutan, dan pemberian prednisolone dan aminophylline intravena. Efek pada jantung berkaitan dengan konduksi myocard yang lemah yang antara lain dapat mengakibatkan: bradycardia, henti jantung, shock, dan konvulsi. Penanganan perawatan pada keadaan darurat antara lain dengan administrasi oksigen, pemberian atropine (0.5 mg) intravena, dan pemberian adrenaline intravena, dan inisiasi resusitasi jantung yang sesuai. Manisfetasi pada sistem saraf pusat yang paling sering terjadi adalah paresthesia lidah, ras kantuk, tremor, dan gangguan konvulsi. Pilihan untuk terapi meliputi pemberia diazepam intravena dan bantuan pada sistem pernapasan.

b. Perforasi

Perforasi dapat terjadi saat dilatasi serviks atau selama prosedur histeroskopi sedang dilakukan. Bila terjadi perforasi maka rongga endometrium tidak mengalami distensi , dan lapangan pandang saat histeroskopi akan hilang. Bila perforasi terjadi saat dilatasi serviks, maka prosedur harus dihentikan, tetapi pada umumnya tidak akan ada cedera lainnya. Jika perforasi uterus terjadi karena peralatan histeroskopik, seperti oleh karena ujung suatu laser, atau suatu electroda yang teraktivasi, maka akan ada resiko untuk pendarahan dan cedera pada viscera yang terletak berdekatan dengan daerah perforasi. Bila hal tersebut terjadi, operasi harus dihentikan dan instrumen ditarik mundur dengan dipandu oleh histeroskop.

Jika ada tanda-tanda pendarahan dan diperkirakan adanya cedera visceral, laparoskopi atau laparotomi harus dilakukan karena perlukaan pada uterus relatif mudah untuk dideteksi dengan laparoskopi. Tetapi bila terjadi trauma mekanis atau termis pada usus, ureter, atau pada kandung kecing maka keadaan akan menjadi lebih sulit dan memerlukan prosedur laparotomi untuk penanganannya. Dan jika memungkinkan dan bila kondisi pasien masih kooperatif, harus dijelaskan kepadanya menyangkut situasi yang sedang terjadi dan memintanya untuk melaporkan bila ada keluhan dari adanya gejala pendarahan atau trauma visceral.

c. Pendarahan

Pendarahan dapat terjadi selama atau setelah histeroskopi yang bisa diakibatkan oleh trauma pada pembuluh darah myometrium atau cedera pada pembuluh darah pada pelvis. Pada saat prosedur resektoskopik dapat terjadi laserasi pada pembuluh darah myometrium.

Dalam perencanaannya operasi akan melibatkan pelaksanaan reseksi yang dalam, oleh karenanya tranfusi darah autolog dapat dilakukan sebelum pelaksanaan operasi. Resiko pendarahan dapat dikurangi dengan suntikan preoperative vasopressin yang dilemahkan ke dalam stroma cervical. Resiko untuk cederanya cabang-cabang arteri uterine dapat diminimalisir dengan mengurangi dalamnya reseksi pada bagian lateral cavum endometrial dekat isthmus uteri dimana teknik ablasi akan digunakan. Ketika ditemukan pendarahan selama prosedur resectoskopi, bola electrode dapat digunakan untuk mengeringkan pembuluh darah secara electrosurgical. Pendarahan yang sulit berhenti dapat terjadi sebagai respon terhadap suntikan vasopressin yang dilemahkan atau karena inflasi kateter balon Foley F30-Ml kedalam cavum endometrium.

d. Trauma suhu (thermis)

Temperatur tunika serosa uterus tidak meningkat dengan sesuai selama koagulasi electrosurgical endometrium, bahkan pada bagian cornu, yang merupakan area tertipis myometrium. Jika suat serat laser ataupun electroda yang diaktifkan digunakan untuk menembus ke dalam uterus, maka struktur-struktur yang melingkupinya seperti usus besar, traktus urinarius, dan pembuluh darah yang terdapat didaerah tersebut akan mempunyai resiko untuk cedera. Oleh karena itu penggunaan serat laser atau electroda yang diaktifkan harus dihindari, tetapi jika telah terjadi penetrasi pada dinding uterus oleh suatu elektroda yang aktif, maka pemeriksaan langsung pada viscera pelvis wajib dilakukan. Laparoscopy adalah langkah pertama yang paling sesuai untuk hal ini. Lokasi perforasi harus diperiksa untuk menyingkirkan kemungkinan adanya pendarahan pada lokasi yang penting. Kebanyakan perforasi tidak memerlukan perbaikan. Tetapi, dinding samping pelvis, kandung kecing, usus halus dan usus besar bowel harus diperiksa dengan hati-hati. Jika terjadi kerusakan saluran cerna, maka laparotomy harus dilakukan untuk koreksi kerusakan tersebut.

Cedera-cedera akibat panas pada saluran kencing dan usus mungkin sulit untuk didiagnosa, dan gejalanya tidak akan kelihatan untuk beberapa hari sampai 2 minggu ke depan. Oleh karena itu, pasien harus dijelaskan mengenai gejala-gejala yang bisa mengindikasikan adanya peritonitis.

e. Medium pendistensi

Karbon dioksida

CO2 dapat menyebabkan emboli dan mengakibatkan morbiditas intraoperative dan kematian yang serius. Resiko ini bisa ditiadakan dengan tidak menggunakan CO2 bersamaan dengan prosedur operatif dan dengan memastikan tekanan insufflasi selalu kurang dari 100 mmHg dan laju alirannya kurang dari 100 mL/min. Insufflator yang digunakan harus dirancang khusus untuk histeroskopi; walaupun demikian kenyataannya sangatlah sukar untuk mengatur laju alir insufflator laparoskopik di bawah 1,000 mL/min.

Dextran 70

Dextran 70 adalah suatu medium hiperosmolar yang dapat menginduksi respon alergi, coagulopathy, dan jika diinfuskan dalam volume yang cukup , dapat mengakibatkan suatu beban vaskuler yang terlalu berat (vascular overload) dan gagal jantung. Karena dextran bersifat hidrofilik, sehingga dapat menarik cairan ekstravaskuler 6 kali volume sendiri ke dalam peredaran sistemik. Konsekuensinya, penggunaannya harus dibatasi dengan volume yang harus kurang dari 300 mL, terutama sekali pada penggunaannya di tempat praktek.

Cairan dengan viskositas rendah

Cairan dengan viskositas rendah yang paling sering digunakan adalah glycine 1.5% dan sorbitol 3%, sebagian besar oleh karena harganya yang murah, kompatibilitasnya dengan electrosurgery, dan ketersediaannya dalam kantong dengan ukuran volume yang besar. Tetapi, pengaliran cairan dengan media hipotonis secara kontinyu ke dalam sistem dapat mengakibatkan gangguan cairan dan elektrolit.

  1. Sebelum dilakukan suatu prosedur resectoscopi, kadar basa serum elektrolit harus diukur. Wanita dengan penyakit kardiopulmoner harus dievaluasi secara hati-hati. Penggunaan agen selektif seperti Gnrh agonists preoperative dapat mengurangi durasi operasi dan penyerapan medium pendistensi.
  2. Di dalam ruangan operasi, Infusi dan pengumpulan media harus berlangsung pada suatu sistem tertutup untuk memungkinkan pengukuran yang akurat dari volume yang diserap. Volume harus dihitung tiap-tiap 5 menit atau sekurang-kurangnya tiap-tiap 15 menit.
  3. Gunakan tekanan intrauterine pada batas tekanan yang paling rendah yang memungkinkan, karena penting untuk mendapatkan distensi yang cukup untuk menyelesaikan operasi, yang pada umumnya pada level di bawah tekanan arteri rata-rata. Range yang baik adalah antara 70 sampai 80 mmHg, yang dapat dicapai dengan menggunakan suatu pompa khusus atau dengan mempertahankan meniskus kantong infus 1 m lebih tinggi dari posisi uterus pasien.
  4. Bila terjadi defisit cairan lebih dari 1 L harus dilakukan pengukuran elektrolit. Pengukuran harus diselesaikan secara cepat dan efisien. Jika defisit lebih dari 2 L, prosedur harus diakhiri, dan dilakukan pemberian diuretic seperti mannitol atau furosemide seperlunya. Pada pasien dengan kompensasi kardiovaskular, defisit harus dihindari.

Comments

Popular posts from this blog

MEKANISME PROSES DASAR GINJAL

Sleep and you ( Secrets of sleep )

The Basic Geriatric Respiratory Examination CME/CE