HISTEREKTOMI


Histerektomi adalah salah satu prossedur pembedahan yang paling sering dilakukan. Setelah pengeluaran dengan pembedahan cesar, adalah prosedur pembedahan utama yang kedua paling sering dilakukan di Amerika Serikat. Pada tahun 1965, ada 426.000 prosedur hysterectomi yang dilakukan di Amerika Serikat, dengan rata-rata lamanya masa rawat inap di rumah sakit 12,2 hari. Jumlah ini mencapai puncaknya pada tahun 1985, dimana ketika itu dilakukan 724.000 prosedur, dengan lama masa rawat inap yang berkurang menjadi 9,4 hari. Banyaknya hysterectomies yang dilakukan di (dalam) Amerika Serikat Pada tahun 1991 merosot menjadi 544.000, dengan rata-rata lamanya rawat inap 4.5 hari. Pada 544.000 histerektomi ini, 408.000 (75%) diantranya dilakukan secara abdominal, dan 136.000 (25%) lainnya dilakukan secara vaginal. Tetapi, pada tahun 1998, angka prosedur histerektomi yang dilakukan meningkat sampai lebih dari 600.000 . Melalui data rata-rata histerektomi umur spesifik pada tahun 1987 dan proyeksi populasi yang didapat dari kantor sensus Amerika Serikat, diperkirakan bahwa akan ada 824.000 histerektomi pada tahun 2005.

Tingkat histerektomi nilainya bervariasi antara 6.1 dan 8.6 pada setiap 1.000 wanita dari berbagai usia. Kemunkinan seorang wanita akan menjalani histerektomi adalah bergantung pada berbagai faktor, termasuk umur, ras, dan lingkunagan tempat tinggal, dan jenis kelamin dari dokter yang memutuskan untuk pengambilan pelaksanaan prosedur tersebut. Wanita pada usia antara 20 dan 49 tahun adalah yang paling banyak mengalami prosedur ini. Rata-rata umur seorang perempuan yang menjalani histerektomi adalah 42,7 tahun dan angka mediannya adalah umur 40,9 tahun, yang nilainya selalu konstan sejak tahun 1980an.kSekitar 75% dari semua histerectomi dilakukan pada wanita dengan umur antara 20 dan 49 tahun. Tingkat terjadinya histeroktomi di setiap daerah dan negra adalah bervariasi. Yang paling tinggi dari keseluruhan adalah di negara bagian selatan AS, di mana angkanya cenderung untuk meningkat pada wanita dengan usia lebih 15 tahun sampai 44 tahun. Tinkat terjadinya histeretomi paling rendah secara konsisten terjadi di negara bagian daerah timur laut AS. Histerektomi jadilah lebih sering dilakukan pada wanita Amerika keturunan Afrika daripada wanita kulit putih Amerika dan dilakukan lebih sering oleh dokter ahli kandungan pria dibanding oleh dokter ahli kandungan wanita.

Komplikasi/faktor penyulit intraoperatif

Kebanyakan lesi intraoperative yang terjadi selama prosedur histerektomi abdominal bila ditelusuri adalah diakibatkan oleh karena pencahayaan yang buruk, asistensi yang tidak memuaskan, ketergesaan yang tidak perlu, varian anatomis, atau karena adanya keterlibatan organ yang cedera karena sedang dalam suatu proses penyakit. Sebagian dari faktor ini dapat disingkirkan dengan perhatian yang waspada sampai pada hal yang detil, dan penggunaan teknik pembedahan yang sesuai. Bagaimanapun, beberapa komplikasi ini tidak dapat dihindarkan bahkan oleh ahli bedah yang paling trampil sekalipun. Oleh karena itu, seorang ahli bedah harus disiapkan untuk mengenali dan mampu memperbaiki factor-faktor penyulit ini. Walau dengan perhatian yang lebih sampai mendetail, trauma dan komplikasi,disadari atau tidak masih saja dapat terjadi.

1. Trauma ureter

Trauma pada saluran kencing yang mengenai panggul adalah salah satu faktor penyulit histerektomi yang paling berat. Oleh karena resiko untuk terjadinya kerusakan ginjal yang lebih parah, Komplikasi pada ureter adalah jauh lebih serius jika dibandingkan komplikasi pada vesika urinaria ataupun pada usus.

Adalah penting untuk mengigat selalu bahwa posisi ureter lebih proksimal dibandingkan dengan struktur pelvis lainnya. Kebanyakan cedera ureter dapat dihindari dengan membuka daerah retroperitoneum dan secara langsung mengidentifikasi ureter tersebut. Penggunaan kateter ureteral sebagai pengganti visualisasi langsung ureter dalam operasi sering memberikan bantuan kecil terhadap pasien dengan fibrosis luas atau jaringan parut yang diakibatkan oleh endometriosis, penyakit peradangan pelvis, atau kanker ovarium. Pada kejadian ini, timbul suatu perasaan aman yang palsu dapat lebih meningkatkan resiko suatu cedera ureteral yang memang sebelumnya sudah beresiko tinggi. Penggunaan kateter ureteral juga dihubungkan dengan terjadinya hematuria dan retensi urine akut. Komplikasi ini pada umumnya tidak nyata secara alamiah.

Visualisasi langsung dapat dicapai dengan membuka retroperitoneum lateral ke arah arteri iliaca eksterna. Pemotongan tumpul untuk melepaskan daerah jaringan ikat longgar areolar dilakukan untuk visualisa arteri secara langsung. Arteri boleh ditemukan dengan menelusuri ke arah cephalad pada bifurcatio arteri iliaca eksterna dan interna. Ureter terletak melintasi arteri iliaca yang umumnya pada bifurcationya dan mengikutinya sepanjang alurnya ke dalam pelvis.

Diluar tindakan pencegahan ini, trauma ureteral tetap dapat terjadi. Konsultasi diperlukan jika ahli bedah belum terlatih dalam perbaikan ureter. Jika ada dugaan terjadinya suatu obstruksi ureter, dapat dikonfirmasi dengan injeksi intravena 1 ampule indigo carmine, kemudian dilanjutkan dengan membuka kubah vesika urinaria, dan mengamati ada atau tidak adanya tetesan bilateral air seni yang berwarna. Untuk alternatif, pemantauan ureter dapat dibuat dengan pembukaan kubah vesika urinaria dan memasang stents ureteral. Evaluasi cystoskopik boleh digunakan untuk pengganti dalam pembukaan vesika urinaria untuk mengevaluasi tetesan air seni yang telah terwarnai.

2. Trauma vesika urinaria

Oleh karena hubungan anatomis yang dekat antara vesika urinaria, uterus, dan vagina bagian atas, vesika urinaria adalah segmen yang posisinya lebih rendah dan yang paling peka terhadap terjadinya cedera. Cedera vesika urinaria bisa terjadi pada saat membuka peritoneum, dan lebih sering lagi terjadi sepanjang pembedahan vesika urinaria dari serviks dan vagina bagian atas. Kecuali jika ditemukan adanya keterlibatan trigonum vesika urinaria, laserasi pada vesika urinaria dapat dengan mudah diatasi. Pada vesika urinaria yang tidak teradiasi, dapat cukup dilakukan penutupan dengan satu atau dua lapis jahitan benang diameter kecil yang bisa diabsorpsi tubuh seperti 3-0 polyglycolic acid. Vesika urinaria harus segera dikosongkan sesudah operasi. Lama waktu pengosongan yang seharusnya masih diperdebatkan. Jika vesika urinaria tidak dapat mengkompensasi pengosongan, pengosongan harus dilanjutkan terus setidaknya sampai tidak ada gross hematuria, yang juga dapat terjadi secara bersamaan pada 48 jam sesudah operasi. Praktek yang lebih konservatif dilakukan dengan melanjutkan terus pengosongan vesika urinaria sampai pasien bisa dipulangkan, biasanya lama keseluruhannya adalah 3 sampai 4 hari. Insisi elevative pada kubah vesika urinaria dilakukan dengan cara yang serupa. Jika ada keterlibatan trigonum, harus dilakukan konsul kepada ahli bedah urologi.

3. Trauma pada usus.

Trauma pada usus halus adalah trauma pada saluran cerna yang paling umum terjadi pada bedah ginekologi. Lesi kecil pada tunika serosa atau muscularis dapat diperbaiki dengan menggunakan selapis tunggal jahitan yang kontinyu ataupun bersela dengan 3-0 braided absorbable suture. Walaupun penutupan usus halus hanya dengan satu layer jahitan saja sudah cukup, lebih aman jika lesi ditutup dengan dua lapisan jahitan dengan 3-0 braided absorbable suture. Lesi harus ditutup ke arah perpendicular dari usus tersebut. Jika terbentuk suatu lesi yang besar mungkin perlu dilakukan penyambungan bagian kembali dengan reanastomosis

Karena flora normal bakteri pada colon ascenden serupa dengan flora normal pada usus halus, lesi dapat ditangani dengan cara yang serupa. Jarang terjadi trauma pada kolon transversum pada prosedur bedah ginekologik normal karena posisinya yang berada di luar lapangan operasi. Tetapi kolon descenden dan rectosigmoid, terlibat erat dengan struktur pelvis dan mempunyai resiko yang jelas selama dilakukannya pembedahan ginekologi. Lesi yang tidak mengenai bagian mukosa dapat diperbaiki dengan satu layer jahitan berjalan dengan 2-0 atau 3-0 braided absorbable suture. Jika laserasi mengenai mukosa, bisa saja ditangani seperti penanganan lesi yang terjadi pada usus halus jika kolonnya sudah cukup dipersiapkan. Kecuali pada beberapa pasien tertentu, colostomy divertial mungkin perlu dilakukan untuk melindungi lokasi perbaikan dari pencemaran feces, terutama jika lesinya lebih besar dari 5 cm atau jika ada kebocoran isi usus.

4. Pendarahan

Pendarahan arteri yang cukup jelas biasanya muncul dari arteri uterina atau dari pembuluh darah ovarium utama yang terletak di daerah insertio dari ligamentum infundibulopelvis. Penjepitan pembuluh darah ini secara sembarangan dapat beresiko untuk mengakibatkan terjadinya trauma ureter oleh karena itu, ureter harus dikenali di dalam rongga retroperitoneal dan ditelusuri ke area pendarahan untuk menghindari kesalahan sewaktu ligasi. Cara yang paling baik adalah dengan menggunakan kantung bertekanan untuk menahan pendarahan dan kemudian pelan-pelan memindahkan kantung tersebut untuk melihat, mengisolasi, dan secara individu mengapit pembuluh darah yang mengalami pendarahan. Penjahitan dengan penggunaan benang jahit terlalu banyak harus dihindarkan. Penggunaan klip bedah akan sangat berguna. Pendarahan pada vena memang lebih ringan, tetapi sering sangat sukar ditangani, terutama sekali jika disertai adhesi yang luas dan fibroid. Pada jenis ini pendarahan dapat dikendalikan dengan tekanan saja atau ligasi dengan penjahitan. Pendarahan dari tepian peritoneum atau dari permukaan yang terbuka dapat dikendalikan dengan tekanan, aplikasi agen pokok seperti thrombin atau collagen, atau cautery dengan Bovie. Berbagai teknik laser telah digunakan untuk mengendalikan pendarahan.

Histerektomi vaginal

Komplikasi intraoperative

1.Tauma vesika urinaria

Cedera pada vesika urinaria adalah salah satu komplikasi intraoperative yang umunya berhubungan dengan histerectomi. Jika dilakukan pemasukan vesika urinaria secara tidak hati-hati, perbaikan biasanya harus dilakukan ketika lokasi lesi ditemukan dan tidak boleh ditunda sampai selesai operasi. Jika didapat cedera vesika urinaria, tepi lesi harus dimobilisasi untuk menilai luas keseluruhan dan agar bisa dilakukan perbaikan tanpa tegangan. Penilaian ini harus meliputi inspeksi terhadap bagian trigonum untuk menyingkirkan adanya cidera pada bagian ini. Setelah itu baru vesika urinaria dapat diperbaiki dengan penutupan menggunakan satu sampai dua lapisan penjahitan dengan menggunakan benang diameter kecil yang absorbable. Methylene biru atau susu steril dapat dimasukan ke dalam vesika urinaria untuk memastikan bahwa perbaikan sudah cukup.

2. Trauma pada usus

Sebab pada pasien yang dicurigai menderita adhesi pelvis atau penyakit pelvis yang jelas nyata tidak boleh dilakukan histerectomi vaginal. Maka jarang ditemukan adanya cedera pada usus. Lesi pada usus lebih sering dihubungkan dengan suatu colporrhaphy posterior dan pada umumnya terbatas pada rektum.

Perbaikan dilakukan dengan memasuki rectum dan lesi-lesi diperbaiki dengan penutupan menggunakan selapis atau dua lapisan jahitan dengan benang diameter kecil yang absorbable, kemudian diikuti dengan irigasi besar. Setelah operasi, pasien harus diberi pelunak feces dan suatu diet yang rendah residu.

3. Perdarahan

Perdarahan intraoperative secara bervariasi adalah diakibatkan oleh : kegagalan meligasi pembuluh darah yang penting secara aman, pendarahan dari lipatan vagina, lepasnya jahitan sebelumnya, atau avulsi dari jaringan sebelum dilakukan penjepitan. Kebanyakan perdarahan intraoperative dapat dihindari dengan pembukaan lapangan bedah yang cukup dan teknik pembedahan yang baik. Penggunaan simpul mati dengan penekanan terhadap mekanisme pengikatan dengan simpul yang sesuai pada banyak kasus akan mencegah pendarahan. Demikian juga, penggunaan jahitan tipe Heaney memperkecil terjadi lepasnya jahitan dan pendarahan oleh karenanya. Ketika terjadi pendarahan, blind clamping, yang membahayakan vesika urinaria, harus dihindari. Pembuluh darah yang mengalami pendarahan harus dikenali dan dengan tepat diligasi dengan visualisasi ureter jika diperlukan. Jika, lokasi ureter masih belum diketahui haruslah dapat diperkirakan posisinya sebelum dilakukan penjahitan pembuluh darah. Kehilangan darah berlebihan yang adakalanya terjadi di luar tindakan pencegahan ini, biasanya jarang.

Komplikasi perioperative

Infeksi luka terjadi setelah 4%-6% histerektomi abdominal. Hal-hal yang percaya dapat mengurangi timbulnya infeksi pada luka operasi antara lain mandi sebelum operasi, tidak mencukur rambut, atau jika perlu dilakukan pencukuran rambut , pencukuran rambut dilakukan dengan gunting/alat potong di dalam ruangan sebelum dilakukan operasi, penggunaan penutup yang adhesive, antibiotk profilaksis , dan penundaan penggunaan penutup utama.

1.Pendarahan

Buasanya perdarahan terjadi seketika setelah histerektomi, melalui salah satu dari dua cara. Pertama, pendarahan dari vagina mungkin dicatat oleh staff perawat, dokter pada beberapa jam awal setelah operasi. Kedua, dan biasanya lebih sedikit, pasien diduga mungkin mempunyai sedikit pendarahan dari vagina tetapi memburuk. hal penting yang berhubungan dengan tanda-tanda vital dinyatakan oleh tekanan darah yang rendah dan denyut nadi yang cepat, nilai hematocrit yang turun drastis, dan sakit abdominal. Presentasi yang paling pertama muncul pada umumnya adalah dalam wujud pendarahan dari lipatan vagina atau dari salah satu pedicles. Presentasi yang kedua adalah adanya suatu pendarahan retroperitoneal. Pada masing-masing situasi dilakukan pendekatan dengan cara yang berbeda dalam perawatan dan evaluasinya , tetapi kedua-duanya umunya melibatkan prinsip yang sama untuk mendapatkan hasil diagnosa yang cepat, stabilisasi tanda-tanda vital, penggantian darah dan cairan yang memadai, dan pengawasan konstan menyangkut keseluruhan kondisi pasien.

Setelah tanda-tanda penting diperiksa, perhatian harus diarahkan pada jumlah pendarahan. Suatu jumlah kecil pendarahan ditemukan setelah histerektomi vaginal manapun. Bagaimanapun, pendarahan hebat selama 2 sampai 3 jam setelah operasi menyarankan pengawasan ketat hemostasis. Pasien harus dipindahkan segera ke ruang pemeriksaan, di mana lokasi luka operasi diinspeksi dengan menggunakan suatu speculum besar dan pencahayaan yang baik. Jika pendarahan tidak berlebihan, lipatan vagina dapat diperiksa, dan di dalam vagina, pada banyak kejadian, akan ditemukan pendarahan dari tepi lipatan vagina. Hemostasis dapat dicapai dengan satu atau dua jahitan yang ditempatkan sampai ke mukosa.

Jika pendarahan adalah berlebihan atau nampak seperti berasal dari atas lipatan vagina atau jika pasien meras terlalu tidak nyaman untuk menjalani pemeriksaan yang adekuat, dia harus dibawa ke ruang operasi. Anesthesia umum harus diatur dan lokasi bekas operasi pada vagina harus secara menyeluruh diperiksa. Setiap titik pendarahan harus diligasi atau dijahit. Bagaimanapun, bila pendarahan berasal dari atas lipatan vagina atau bila pendarahan sangat cepat pada umumnya tidak bisa dikendalikan melalui rute vagina. Oleh karena itu harus dilakukan laparotomi untuk melihat dasar pelvis, mengidentifikasi dan mengisolasi pembuluh darah yang mengalami pendarahan, dan mencapai hemostasis. Pembuluh darah ovarium dan arteri uterina harus secara menyeluruh diperiksa sebab sering menjadi sumber dari pendarahan vaginal yang berlebihan. Jika sukar untuk melokalisir pendarahan pada pembuluh darah panggul yang spesifik, ligasi arteri hypogastric mungkin perlu dilakukan.

Pada pasien dengan pendarahan vagina yang kecil tetapi kondisi tanda vitalnya sudah memburuk, harus dicurigai adanya pendarahan retroperitoneal. Keluaran dan masukan ciran harus dimonitor. Pemeriksaan hematocrit, dilakukan bersama dengan cross-match, harus dilakukan dengan segera. Pemeriksaan boleh mengungkapkan konsistensi dalam panggul. Jika terjadi pendarahan intraperitoneal, dapat saja ditemukan distensi abdomen. Radiasi diagnostik dapat digunakan untuk memperjelas adanya pendarahan retroperitoneal atau intraabdominal. Ultrasonography adalah salah satu pilihan untuk mengamati hematoma pada bagian rendah pelvis. CT menyediakan visualisasi rongga retroperitoneal yang lebih baik disbanding alat manapun, dan juga dapat menggambarkan adanya suatu hematoma.

Jika kondisi pasien dapat kembali stabil dengan cepat pada pemberian cairan intravena, satu dari dua pendekatan yang ada mungkin dapat digunakan untuk penanganan selanjutnya. Yang pertama adalah dengan memberi pasien suatu transfusi dan diikuti pemeriksaan hematocrit secara berulang dan pemeriksaan tanda vital. Pada banyak kejadian, pendarahan retroperitoneal akan tertahan dan berhenti, membentuk suatu hematoma yang dapat diresorbsi. Resiko proses ini adalah bahwa hematoma selanjutnya akan menjadi infeksi, yang memerlukan drainase secara operatif. Pada beberapa kasus dimana kondisi pasien masih stabil, embolisasi radiologic mungkin dapat dipertimbangkan.

Pilihan lainnya adalah dengan mengeksplorisasi abdomen denga pembedahan selagi kondisi pasien masih stabil. Pendekatan ini menambah morbiditas cara kedua tetapi menghindari kemungkinan memburuknya kondisi pasien dengan menunda kelanjutan atau pembentukan abses pelvis. Sewaktu pemaparan yang adekuat diperoleh, peritoneum yang berada di atas hematoma harus dibuka, dan darah harus dievakuasi. Semua pembuluh darah yang mengalami pendarahan harus dikenali dan di ligasi. Jika kendali pendarahan masih sulit dilakukan, harus diputuskan untuk ligasi bilateral atau unilateral bagian anterior dari arteri iliaca interna. Saat hemostasis dicapai, pelvis harus didrainase menggunakan suatu sistem tertutup.

Komplikasi pada traktus urinarius

1. Retensi urine

Retensi urine setelah histerektomi jarang ditemukan. Jika tidak ditemukan adanya obstruksi ureter, tetapi ada retensi urine, biasanya itu adalah hasil dari nyeri atau atonia vesika urinaria karena anastesia. Keduanya sifatnya adalah sementara.

Jika kateter tidak dipasang setelah operasi, retensi urine bisa dengan mudah diatasi dengan insersi menggunakan kateter Foley untuk jangka waktu 12-24 jam. Kebanyakan pasien bisa mengosongkan kandung kemih setelah kateter dipindahkan 1 hari kemudian. Jika pasien masih mempunyai gangguan pengosongan dapat dicurigai adanya spasme urethral, keberhasilan sering dapat dicapai dengan suaturelaksan otot seperti diazepam ( 2 mg dua kali satu hari). Dalam banyak kasus, menunggu adalah penanganan yang terbaik, dan kemapuan pengosongan pada umumnya kembali secara spontan.

2. Cedera ureteral

Pada pasien yang mengeluhkan adanya nyeri panggul segera setelah histerektomi vaginal, harus dicurigai adanya obstruksi ureteral. Timbulnya trauma ureteral menurun pada histerektomi vaginal dibanding dengan pada histerektomi abdominal. Satu faktor resiko untuk terjadinya hal ini adalah total prolapsnya uterus, di mana ureter keluar dari tulang panggul.

Pada pasien dengan nyeri panggul di mana dicurigai adanya obstruksi ureteral, harus dilakukan pyelography intravena dan urinalisis. Jika penghalang terdeteksi saat pyelography, biasanya obstruksi terdapat pada ureterovesical junction. Langkah segera yang pertama kali harus dilakukan pemasangan kateter ke dalam saluran kencing dengan panduan cystoscopic. Jika kateter dapat melintasi ureter, berarti kateter tersebut haruslah dibiarkan terpasang pada tempatnya untuk sekurangnya 4 sampai 6 minggu, untuk membiarkan jahitan diserap dan obstruksi terlepas. Jika kateter tidak dapat melintasi ureter, maka penanganan terbaik adalah dengan operasi eksplorisasi perut dan kemudian memperbaiki ureter tepat di tempat dimana terjadinya obstruksi.

3. Fistula vesicovaginal

Fistula vesicoabdominal biasanya terjadi setelah histerektomi abdominal total untuk penyakit benigne (keganasan) ginekologik. Pencegahan intraoperative untuk mencegah mencegah pembentukan fistula ini antara lain : identifikasi yang benar besar ruangan yang sesuai antara vesika urinaria dan serviks, pembedahan dengan penyayatan yang tajam lebih sering terjadi fistula daripada denga yang tumpul, dan dengan memperhatikan clamping dan suturing lipatan vagina. Terjadinya fistula vesicovaginal sesudah operasi histerektomi jarang timbulnya, insidennya adalah sama rendah dengan 0,2%.

Pasien yang mempunyai suatu fistula vesicovaginal sesudah operasi biasanya menunjukan kelainan vagina yang encer 10-14 hari setelah perawatan. Beberapa fistula yang disebabkan karena operasi dapat dikenali secepatnya pada 48-72 jam setelah operasi. Setelah pemeriksaan vagina dengan suatu speculum, hasil diagnosa pada umumnya ditetapkan dengan penyisipan suatu kapas tampon ke dalam vagina yang diikuti dengan pemasukan methylene biru atau indigo carmine melalui suatu kateter transurethral. Jika tampon bernoda biru, berarati terdapat suatu fistula vesicovaginal. Walaupun tidak ada noda, bagaimanapun, kecurigaan adanya fistula ureterovaginal harus dikesampingkan dengan injeksi indigo carmine 5 mL. Dalam 20 menit, tampon harus berwarna biru jika tedapat fistula ureterovaginal. Pyelography intravena juga perlu dilakukan untuk mengesampingkan obstruksi ureteral.

Jika suatu fistula vesicovaginal didiagnosa, suatu kateter Foley pipa harus dimasukkan untuk memperpanjang pengosongan. Sebanyak 15% dari fistula yang secara spontan menutup setelah dilakukan 4 sampai 6 minggu setelah pengosongan vesika urinaria yang lebih lanjut. Jika penutupan belum terjadi sampai 6 minggu, mungkin diperlukan suatu koreksi operatif. Operasi yang direkomendasikan dilakukan setelah 3-4 bulan diagnosa dilakukan untuk mengurangi peradangan dan meningkatkan sokongan vaskuler. Setelah vaginal histerektomi, biasanya posisi fistula terdapat di atas trigonum vesika urinaria dan jauh dari ureter.Perbaikan vagina biasanya dapat diantisipasi pada kebanyakan pasien. Koreksi dengan pembedahan umumnya ditangani dengan penutupan 4 lapisan yaitu : mukosa vesikaurinaria, lapisan seromuskular, fascia endopelvik dan epithelium vagina. Kecelakaan cystotomy saat histerektomi lebih sering daripada fistula vesicovaginal. Bila dikoreksi dengan tepat, cystotomy jarang mengakibatkan fisula vesicovaginal

4.Prolapsus tuba fallopi

Prolapsus tuba fallopi posthisterektomi jarang terjadi, dan sering dibingungkan dengan terjadinya granulasi jaringan di apex vagina. Faktor predisposisi untuk terjadinya prolapsus tuba fallopi adalah adanya pembentukan hematoma atau abses pada bagian apex dari vagina. Sebanyak separuh pasien yang menjalani prosedur histerektomi vaginal mengalami pembentukan granulisasi pada daerah bawah vagina. Pada pasien di mana tetap terdapat pembentukan jaringan granulasi setelah dilakukan usaha untuk kauterisasi atau bila terdapat pengalaman adanya nyeri saat dilakukan usaha untuk memindahkannya, dapat dicurigai adanya tuba fallopi. Suatu biopsi dari daerah tuba menjamin dan pada umumnya menunjukan adanya epithelium tuba jika ditemukan adanya prolapsus tuba fallopii.

Jika prolapsus tuba fallopii terdiagnosa, haruslah dikoreksi dengan operasi. Secara umum, mucosa disekeliling vagina harus dibuka dan digangsir secara luas. Tuba kemudian dipindahkan dan diligasi ke posisi yang lebih tinggi, kemudian diikuti penutupan mukosa vaginal.

Comments

Popular posts from this blog

MEKANISME PROSES DASAR GINJAL

Sleep and you ( Secrets of sleep )

The Basic Geriatric Respiratory Examination CME/CE